🔥 Lowongan terbaru! Last Updated on 17 October 2022 by Herman Tan Manado
Saya beberapa bulan yang lalu mengelilingi kota2 besar di Indonesia, seperti Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, sampai Manado karena tuntukan pekerjaan.
Sekalian saya ambil waktu sedikit buat jalan2 mengelilingi setiap kota yang saya kunjungi; tentu saja yang tidak akan saya lewatkan adalah berkunjung ke beberapa Kelenteng lokal.
Karena tidak menguasai lokasi, saya menggunakan jasa taksi Miris memang, saya malah menemukan banyak Kelenteng yang sudah tidak berpenghuni
  • Lokasi: DKI Jakarta
  • Provinsi: Bali
  • Gaji: Dirahasiakan
  • Jenis: Disesuaikan
  • Lulusan: DISESUAIKAN
  • Pengalaman: disesuaikan
  • Terbit: 2025-10

Last Updated on 17 October 2022 by Herman Tan Manado
Saya beberapa bulan yang lalu mengelilingi kota2 besar di Indonesia, seperti Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, Makassar, sampai Manado karena tuntukan pekerjaan

Sekalian saya ambil waktu sedikit buat jalan2 mengelilingi setiap kota yang saya kunjungi; tentu saja yang tidak akan saya lewatkan adalah berkunjung ke beberapa Kelenteng lokal

Karena tidak menguasai lokasi, saya menggunakan jasa taksi

Miris memang, saya malah menemukan banyak Kelenteng yang sudah tidak berpenghuni

Bahkan biokong (penjaga kelenteng) pun tidak ada, dan kadang hanya ditunggui oleh warga setempat

Ini berbanding terbalik dengan kondisi tempat ibadah umat Nasrani yang penuh sesak oleh etnis Tionghoa

Saya sendiri tinggal di Jakarta, sering mengamati banyak orang Tionghoa yang berbondong2 datang ke Gereja untuk sekedar mendengar khotbah/doktrin dari pendetanya

Saya sering berpikir, apa alasan mereka untuk pindah Agama?
Lah, masa sih “Bapak” orang lain mau dianggap sebagai “Bapak” sendiri?
Populasi etnis Tionghoa yang masih memeluk kepercayaan asli leluhurnya terus menurun dari tahun ke tahun

Kalaupun ada penambahan, hanya karena ikatan perkawinan yang mengharuskan untuk pindah kepercayaan, bukan keiklasan atau kesadaran

Boleh dibilang masuk 1 keluar 10

Kalau begini, lama2 akan habis juga cepat atau lambat

Salah satu penyebab utama yang dapat saya tangkap, adalah karena begitu banyaknya mitos, tahayul, tradisi, kebiasaan, dan lain sebagainya tentang budaya Tionghoa sendiri yang sulit dicerna oleh akal sehat

Hal ini yang dimanfaatkan oleh Agama lain untuk menarik domba gemuk yang siap disembelih umat2 berduit dari etnis Tionghoa, untuk membangun tempat ibadah mereka sampai besar, bertingkat2, dan bercabang2!
Mereka memberikan doktrin, bahwa kepercayaan dan agama Tionghoa itu penyembah berhala/setan, tidak logika, musyrik, sesat, dan lainnya

Hasilnya bisa di lihat, pemuda/i Tionghoa sekarang rata2 sudah pindah Agama bukan?
Sisa petua-petui yang sudah bau tanah berumur saja yang kebanyakan masih menjalankan tradisi/kebisaan leluhur secara penuh

Baca juga : Akuilah Bapakmu Sebagai Bapakmu, Bukan Bapak Orang Lain Sebagai Bapakmu!
Kalaupun mereka (muda/i) masih ikutan, itu karena terpaksa, atau karena tradisi itu dianggap masih menguntungkan mereka, seperti :
1

Tradisi Imlek : Bisa dapat angpao! Tentu harus ikut ini

Kalau engga, ya tidak dapat duit

Tapi hanya di sesi makan2 bersama saja

Sesi sembahyang H-1 sebelum Imlek engga ikut, karena harus sembahyang pegang dupa

2

Tradisi Tea Pai : Sama kayak angpao

Engga mau ikut pai tea, jangan harap mau dapat angpao atau emas tebal2 dari keluarga! Tapi masih saja dikadalin

Mereka tidak mau malakukan soja (kui, berlutut) dengan alasan berhala (menyembah selain Tuhan)

3

Pernikahan ala Tionghoa : Yup

Biar dapat angpao banyak dari tamu, tinggal pasang karakter 囍 di pelaminan

Karena Tionghoa identik dengan orang kaya dan eksklusif

Ini fakta di lapangan

Saya banyak menjumpai dan mendegar hal demikian

Jadi istilahnya pakai label Tionghoa gitu

4

Makan Kue Bulan : Lumayan dapat makanan enak, kue bulan (kue pia) sekotak harganya 100-200 ribu (brand tertentu bahkan bisa diatas sejuta)

Lumayan buat dipamerin ke teman

Kalaupun mesti ke kelenteng, lumayan buat cuci mata, karena biasanya hari itu banyak cewek2 cantik atau cowok2 cakep Tionghoa yang memang kebetulan sembahyang ke kelenteng untuk minta/cari jodoh (referensi : baca cerita Dewa Yue Lao)

Sementara tradisi2 yang “merugikan” mereka, seperti :
1

Ziarah Ceng Beng : Capek mesti ke kubur

Mesti siapin makanan lagi, keluar duit kan? Sudah gitu harus pegang dupa lagi (karena menurut doktrin pendetanya agama barat, PANTANG memegang dupa! Mereka lupa kalau ada bule2 saja ada yang memegang dupa)

2

Sembahyang bulan 7 tanggal 15 : Sama! Mesti keluar duit juga, mending ikut doktrin agama, bahwa itu termasuk penyembahan berhala/setan

Padahal orang2 barat juga merayakan festival Hallowen setiap tanggal 31 Oktober

3

Pergi sembahyang ke Kelenteng setiap hari sejid Dewa/Dewi : Ke tempat yang penuh asap, kusam, suasana mencekam, panas, mana mau? Belum lagi harus lihat potongan kepala babi di tengah altar kalau ada sembahyang besar?
Idih, jijik deh

Mana cuma datang, pai, pulang lagi (umat cung cung cep)

Tidak ada ceramah, suntuk, mending bobok, atau mending ke gereja, adem, wangi

Atau ke mall2, ramai, penuh dengan teman2 sebaya

Siapa tahu dapat gabetan?
4

Sembahyang Ce It dan Cap Go : Waduh harus nyiapin segala keperluan sembahyang di rumah

Keluar duit sih gapapa, tapi kan capek juga

Kalau ke kelenteng, sisa ketemu tua-tui semua, jadi malas duluan

Mending tiap minggu ke Gereja dengar khotbah pendeta, lokasi strategis, ramai, tinggal duduk, dapat bonus cuci mata lagi

“Jadi jangan kira Mereka patut dipuji karena masih menjalankan “sebagian” dari tradisi Tionghoa

Sebenarnya Mereka hanya mau menjalankan tradisi yang ENAK-ENAK dan yang MENGUNTUNGKAN saja”

Saya barusan terpikir, kenapa salah satu manusia etnis Tionghoa yang bernama Cristofus Sindunata pada tahun 1967 mendukung Inpres Nomor 14 Tahun 1967? Tentu tak lain agar orang2 Tionghoa terpaksa untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah2 swasta, yang rata2 memang dikelola oleh Nasrani

Tidak mungkin orang Tionghoa memasukkan anaknya ke sekolah “pribumi”, alias sekolah negeri, yang kala itu kebanyakan berbasis Agama Islam

Bahkan sebagian menerapkan aturan berjilbab adalah hal wajib bagi wanita

Saya salut, karena ini bisa dibilang investasi jangka panjang beliau

Beliau tidak mengincar generasi BAU TANAH yang se-usianya, karena sadar sebentar lagi sudah mau waktunya 🙂 Ini adalah upaya “kristenisasi massal” kala itu

Beliau mengincar generasi muda, agar kelak bisa maju pesat dan berkembang di tanah air, seperti halnya agama mayoritas

Jadi semenjak kecil anak sudah dikenalkan dengan firman Tuhan, lama2 pasti pindah agama kecuali takdirnya keras wkwk

Apalagi teman2 se-usia mereka juga sudah pindah agama

Mana mau ditinggal sendiri? Karena 80% manusia itu bermental pengikut, 15?% provokator, dan 5% adalah pemimpin, yang berani tampil beda menyandang status double/triple minority

Ketika mereka mencapai usia dewasa, mereka bahkan bisa “lebih militan” daripada yang non Tionghoa

Yap! Mereka tidak segan untuk mengajak orang tua, kakak, adik, keponakan, sepupu, dan saudara2 jauhnya untuk ikut

Banyak contoh kasus menyedihkan yang pernah saya dengar

Misalnya, ketika orang tua mereka sudah sekarat, sudah tidak sadar, cepat2 mereka ajak pendetanya untuk membaptis

Atau seperti foto diatas

Dimana anak2nya sudah pada pindah agama

Akhirnya malah pembantu dari majikan tersebutlah yang menyembahyangi beliau

“Konsep Surga dan Neraka itu dibuat untuk menakut-nakuti domba2 gemuk

Nanti kalau sudah pintar semua, dombanya sukar digembalakan 🙂
Agama itu untuk mengatur biar umat tidak kacau

Kalau Agama sampai membuat kita malas menggunakan otak untuk berpikir, mungkin sebaiknya otaknya dikembalikan saja

Jangan sampai agama hanya diperuntukan bagi mereka yang berhenti berpikir”
Saat ini tradisi dan kebudayaan Tionghoa, meski sudah bebas berkembang di tanah air, tapi makin sedikit saja umatnya

Seperti catatan perjalanan singkat saya di awal paragraf, banyak kota besar yang Kelentengnya sudah kosong melompong pada saat sembahyang

Baca juga : Alasan Makin Menurunnya Pemeluk Agama Tionghoa di Indonesia (Bagian II)
Ini harusnya menjadi tantangan bagi pengurus Kelenteng dan bagi generasi penerus Tionghoa yang masih bertahan, agar bagaimana melestarikan tradisi, kebudayaaan dan agama Tionghoa agar tidak makin terpuruk

Satu lagi, seperti soal bahasa, dimana kebanyakan orang Tionghoa di Indonesia sekarang (generasi awal 60-an s/d awal 90-an) malah tidak bisa berbahasa Mandarin

Juga tidak bisa memegang sumpit

Sementara orang2 pribumi sekarang malah fasih berbahasa Mandarin dan pintar2 pakai sumpit di restoran chinese food

Ini fakta yang saya temukan sewaktu makan di beberapa restoran

Lucu memang, tapi itulah kenyataannya

Catatan : Merupakan pandangan pribadi penulis yang bersifat subjektif (2) Yang dimaksud Agama Tionghoa disini adalah Taoisme, Konghucu, dan Buddha (meski sebenarnya Buddha berasal dari India, namun tumbuh berkembang pesat di Tiongkok)

Penggunaan kata Agama Tionghoa hanya untuk mempersingkat judul

So, don’t be stupid

🚀 Tips: Siapkan CV terbaikmu & daftar sebelum kuota habis!

🔗 Sumber: https://www.tionghoa.info/alasan-makin-menurunnya-pemeluk-agama-tionghoa-di-indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *